Banyak Penyandang Lupus Mengalami Diskriminasi

Banyak penyandang lupus mengalami perlakuan diskriminatif. Padahal, lupus bisa dikendalikan dan penyandang mampu melakukan pekerjaan produktif.

Hal itu dituturkan Dian Syarief Pratomo, Senin (14/3). Pendiri Syamsi Dhuha Foundation, yayasan untuk para penyandang lupus yang bermarkas di Bandung, ini prihatin dengan begitu banyaknya penyandang lupus sulit mendapatkan pekerjaan.

Ketika penyandang lupus melamar pekerjaan, demikian Dian, mereka mampu melewati tahapan tes tertulis dan wawancara. Ini menunjukkan bahwa secara kemampuan, para penyandang lupus bisa disejajarkan dengan pelamar lain.

”Namun begitu menjalani tes kesehatan, penyandang lupus yang melamar pekerjaan tadi dinyatakan gagal,” kata Dian.

Mereka yang sudah bekerja di perusahaan pun bisa terancam dipecat bila ketahuan terkena lupus. Alasannya, ketika penyandang lupus membutuhkan istirahat beberapa hari ketika kondisinya sedang lemah, ia dianggap tidak produktif.

Dian bercerita, ada seorang anggotanya yang terpaksa menyembunyikan informasi bahwa ia menderita lupus karena tidak mau dianggap memanfaatkan kondisinya itu untuk tidak masuk kerja.

Otoimun

Lupus adalah suatu kelainan imunitas di mana antibodi yang seharusnya melindungi tubuh dari benda asing, seperti kuman, justru menyerang organ tubuh sendiri. Sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti kelainan ini.

Ketika antibodi menyerang tubuh dan tidak tertangani dengan baik, akan menyebabkan komplikasi. Komplikasi inilah yang bisa menyebabkan kematian karena bisa terjadi di organ vital, seperti jantung, ginjal, otak, dan paru-paru.

Salah satu ciri penyandang lupus adalah mudah lelah dan kadang-kadang mengalami kelelahan berat. Dalam kondisi kelelahan berat inilah penyandang lupus sering kali hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Kalau dipaksakan bekerja, gangguan lupus akan mengalami komplikasi.

Seperti halnya pengalaman Rina (30), penyandang lupus yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat. Menurut Rina, ia sering memaksakan diri bekerja agar tidak dianggap memanfaatkan kondisi lupusnya untuk membolos kerja.

Namun, Rina malah mengalami komplikasi ginjal. Dalam kondisi dirawat di rumah sakit untuk gangguan ginjalnya, Rina tiba-tiba dipecat oleh perusahaannya.

Menurut Tiara Savitri, pendiri sekaligus Ketua Yayasan Lupus Indonesia yang berdomisili di Jakarta, lupus bisa dikendalikan asalkan penyandang lupus minum obat-obatan yang disarankan dokter. Sayangnya, banyak penyandang lupus yang menghentikan pengobatan karena takut dengan efek samping obat lalu mencoba obat herbal. Padahal, obat herbal kebanyakan justru menaikkan imunitas.

Persoalan lain yang dihadapi penyandang lupus, kata Tiara, adalah mahalnya biaya pengobatan lupus. Ia menggambarkan pada pasien lupus nefritis (ginjal) harga albumin yang dipakai untuk pengobatan bisa mencapai Rp 1,5 juta per botol. Padahal, penyandang bisa memakai albumin lebih dari satu botol. ”Saya dulu memakai albumin sampai 98 botol,” kataTiara.
____
Arsip Media
Kompas