Tiara Savitri dan Sang Buah Hati Melawan Lupus Bersama

Sudah 25 tahun Tiara Savitri jatuh bangun menjalani hidup sebagai penderita Lupus (Systemic Lupus Erythematosus). Untung saja ia punya moto yang membuat hidupnya sedikit lebih mudah, 'Semangat'. Bersama putra tunggalnya yang juga terkena Lupus, Tiara saling bahu membahu untuk bertahan.

SLE adalah penyakit autoimun yang artinya sistem imun di tubuh yang seharusnya menjadi benteng untuk mencegah penyakit dari luar justru menyerang organ-organ dalam tubuh. SLE sering disebut sebagai penyakit seribu wajah karena gejala yang muncul mirip dengan penyakit lain (mimikri) dan bisa menyerang seluruh organ tubuh.

Penyakit ini belum ada obatnya dan bersifat kronik. Orang yang terkena SLE akan menanggung penyakitnya seumur hidup, tapi penyakit ini juga bisa tenang yang disebut mengalami masa remisi.

Sadar akan penyakit yang dideritanya, Tiara tak pernah putus asa dan sebisa mungkin masih menjalani hidup dengan normal. Bahkan ia masih sempat mendirikan Yayasan Lupus Indonesia untuk membantu sesama penderita Lupus.

Tidak ada kata cengeng dalam hidup Tiara Savitri. Dengan kondisi fisiknya yang sering drop, ia masih bisa menjalani peran sebagai orangtua tunggal dan aktif di kegiatan sosial YLI. Terlebih sejak suaminya meninggal tahun 2000, Tiara benar-benar menjadi tumpuan putra tunggalnya Kemal Syakurnanda (12 tahun).

Dan yang harus membuatnya lebih tegar lagi adalah kenyataan anak tunggalnya pun terdeteksi penyakit yang sama dengan dirinya. Awalnya, ia sempat tidak percaya anaknya bisa terkena Lupus juga seperti dirinya.

Tiara terdiagnosis menderita lupus ketika berusia 17 tahun dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama 9 bulan. Wajah cantik dan tubuh langsingnya langsung membengkak drastis.

"Tahun 1987 saya dirawat di RS AL Mintoharjo selama 9 bulan, 1 bulan sebelum mencapai 9 bulan saya dipindah ke RSCM dan bertemu dengan dr Zubairi dan didiagnosis dengan lupus," ujar Tiara Savitri disela-sela acara temu media dengan Sang Teladan sebuah penghargaan kesehatan dari Decolgen di Restoran Sari Kuring SCBD, Kamis (14/7/2011).

Setelah didiagnosis Lupus ia diberi pengobatan terapi steroid dengan dosis tinggi dan semua gejala yang muncul diobati seperti nyeri-nyeri di sendi, demam dan juga bercak-bercak di kulit.

Saat itu yang ada di pikirannya adalah ia harus mengonsumsi obat dalam jangka waktu panjang dan dosis yang tinggi, tapi disatu sisi ia juga merasa lega karena bisa mengetahui apa penyakitnya.

Selama melawan penyakit lupus, Tiara selalu mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya. Orang-orang disekitarnya terus memberi semangat dan menceritakan hal-hal yang bisa membuatnya senang.

"Saya juga pernah dirawat di RS Kramat 128 tahun 1996 karena mengalami kebocoran ginjal," ujar Tiara yang mendirikan Yayasan Lupus Indonesia pada tahun 1998.

Setelah menikah dan mengalami 3 kali keguguran, Tiara tidak merasa berputus asa hingga akhirnya pada tahun 1999 ia mengalami kehamilan yang keempat dan berhasil melahirkan seorang anak laki-laki sebagai anugerah dari Tuhan.

Tapi rupanya ketabahan Tiara tidak hanya berhenti disitu saja, karena saat anaknya berusia 1 tahun sang suami dipanggil oleh Tuhan hingga akhirnya Tiara harus siap menjadi single parent yang memperjuangkan kehidupan sendiri serta putranya.

Saat ini Tiara sudah bisa hidup layaknya orang normal dan aktif dalam yayasan yang didirikannya untuk membagikan semangat bagi para odapus (orang dengan lupus) lainnya.

"Diagnosa awal dan keteraturan pasien untuk mendapatkan pengobatan menjadi salah satu kunci bagi pasien penderita lupus untuk bisa tetap sehat dan menikmati kualitas hidup yang lebih baik," ujarnya.

Sedangkan anaknya Kemal Syakurnanda (12 tahun) yang lahir tanggal 10 Februari 1999 juga didiagnosis menderita lupus sebulan lalu. Kemal sendiri sudah tahu bahwa ibunya menderita lupus dan kerap Kemal mengikuti kegiatan Tiara bersama dengan yayasannya.

Awalnya Tiara sendiri sudah melihat adanya gejala yang sama seperti lupus pada diri Kemal. Saat Kemal kelas 3 SD sudah terlihat cepat lelah, suka demam meski hilang timbul dan nyeri sendi. Tapi saat itu Tiara berharap Kemal tidak kena Lupus, karena Lupus adalah penyakit yang sebagian besar dialami oleh perempuan. Seiring berjalannya waktu ketika Kemal kelas 4 SD, si anak mengalami stres yang besar di sekolah sehingga membuatnya drop, yang lalu gejala tersebut muncul kembali.

Hingga akhirnya pada bulan Mei 2011 gejala yang timbul semakin sering, mulai terlihat ada butterfly mark di wajahnya, sendi yang sakit dan sakit kepala yang hilang timbul. Lalu saat dirinya dan Kemal ke Yogyakarta, Kemal tidak bertingkah seperti biasanya karena ia meminta izin untuk tetap tinggal di hotel karena capek.

"Buat saya itu hal yang aneh, karena Kemal termasuk anak yang aktif. Akhirnya saya berpikir untuk membawa ia ke dokter setelah sampai di Jakarta nanti," ujar Tiara.

Sesampai di Jakarta Kemal melakukan pemeriksaan laboratorium dan sebagainya, didapatkan hasil yang negatif. Tapi keluhan tersebut terus berulang hingga akhirnya ia melakukan tes kembali dan diketahui nilai asto (berkaitan dengan demam rematik yang jika tidak ditangani bisa menyebabkan klep jantung) yang tinggi.

Akhirnya ia pun membawa hasil tersebut ke Prof Zubairi Djoerban dan diberikan terapi selama 2 minggu, saat itu diduga kemungkinan Kemal mengalami pra lupus meski kemungkinannya kecil. Namun keluhan terus berulang, Kemal mengalami sariawan, setiap terkena matahari badannya nyeri dan tidak nyaman, hingga ia dianjurkan berkonsultasi dengan dokter jantung di RSCM.

"Setelah diperiksa secara menyeluruh diketahui ada cairan di jantung Kemal dan disarankan kembali ke Prof Zubairi karena ini sudah masuk ke lupus yang ke organ," ungkap Tiara.

Kemal pun akhirnya didiagnosis menderita lupus dan ia diberikan terapi steroid dosis tinggi, saat itu ia diberikan steroid dengan dosis 64 mg/BB. Tapi berangsur-angsur dosis yang diberikan mulai berkurang kecuali jika memang ada keluhan baru dosisnya ditambah.

"Sejak kelas 2 SD ia sudah ikut saya turun ke lapangan jadi setidaknya ia tahu apa itu lupus dan apa yang harus ia lakukan, meskipun kadang ia merasa takut dan belum bisa mengatur emosionalnya," ujar perempuan kelahiran 5 Agustus 1968.

Namun Kemal cukup bertanggung jawab dalam hal mengonsumsi obat yang dalam satu hari ia harus minum 5 obat, serta berusaha menghindari matahari dan menggunakan sunblock.

"Saya biasanya hanya menyiapkan obat dan dia minum sendiri. Dia cukup tahu obatnya, jadi kalau ada salah satu yang tidak ada ia akan bertanya sama saya, kok obat ini tidak ada," ujarnya.

Tiara pun awalnya tidak tahu bahwa lupus dipengaruhi oleh faktor genetik. Tapi setelah ia mengikuti kongres beberapa waktu lalu, ia tahu bahwa lupus yang terjadi pada Kemal karena faktor genetik.

"Saya tidak pernah menuntut dia untuk menjadi apa nantinya, yang penting dia tetap sehat. Karena jika ia sehat maka ia akan bisa melakukan apapun dan saya pun tidak mau terlalu membebani dia, karena faktor emosional bisa menjadi pemicu bagi lupus," imbuhnya.

Tiara pun tak hentinya memberikan semangat pada Kemal dan sering mengatakan pada Kemal bahwa ia dan sang anak kerap menjadi duel lupus. Tiara pun berharap agar Kemal mampu melawan penyakit lupus sehingga bisa survive seperti dirinya.

Tiara juga berharap agar yayasan yang didirikannya ini bisa membantu memperjuangkan pengobatan dan biaya perawatan di rumah sakit agar bisa lebih murah bagi penderita lupus. Hal ini karena obat dan perawatan untuk lupus masih terbilang mahal.
____
Arsip Media
Ditulis oleh Vera Farah Bararah - detikHealth